Ummi Fisabilillah Raih Norma Women Grandmaster Kedua
Desember 23, 2021
Menparekraf Siapkan Strategi Pengembangan KEK Tanjung Lesung Mendukung Pemulihan Ekonomi
Desember 24, 2021
JAKARTA, jurnal-idn.com – Saat ini dunia di sebelah kanan mulai terlihat terseret perlahan ke arah kiri. Belahan kirinya juga menjadi moderatif bergeser ke kanan. Sepertinya garis pendulum dunia tidak lagi akan berbunyi: dunia mengarah ke kiri jauh atau mengarah ke kanan jauh, tapi ke tengah. Itulah gambaran dunia abad 21 ini. 
 
Kesombongan para pembela kapitalisme kanan mulai mendapat tentangan. Bukan dari luar tapi dari jantung sistemnya sendiri.  
 
Anak-anak konglomerat itu mulai muak melihat kemegahan yang bermula dari keserakahan dan gaya glamour pendahulunya. Mereka memilih hidup minimalis dan esketis dan keras ikut bersuara tentang kerusakan lingkungan dan eksploitasi buruh dari perangai korporasi kapitalis milik senior mereka.
 
Mereka temukan nilai-nilai baru yang sama sekali berbeda dengan orang tua mereka. 
 
Anak-anak muda pewaris perusahaan konglomerasi kapitalis mulai merintis model baru dari bisnis, yaitu perusahaan sosial yang ingin terapkan visi tiga tiga pilar penting: jaga planet, tetap profit dan perhatikan orang. 
 
Bill Gate, orang kaya raya ini mulai katakan pada dunia bahwa kekayaan mesti dipajaki. Bernie Sanders, kandidatur presidensi Amerika Serikat dalam masa kampamyenya yang lalu juga sempat populer karena ingin terapkan kebijakan kepemilikan saham bagi buruh secara demokratik jika dia terpilih. Dia ingin Undang-Undang kepemilikan  saham bagian buruh yang masih memganut garis minimal tak lebih dari 20% itu mestinya dinaikkan menjadi 51% proporsinya di perusahaan.
 
Joseph Stiglitz, penerima Nobel ekonomi juga memberi saran agar perusahaan kapitalis lakukan koreksi demi keberlanjutan dari bisnis mereka sendiri. 
 
Bahkan mulai menyeruak juga tuntutan konsumen. Setidaknya agar suara mereka diperhitungkan dalam meja pengambilan keputusan perusahaan dan tidak terus menjadi obyek. 
 
Seperti usulan para netizen yang mulai gugat perampokkan ekstraksi data di era big tech dan ekonomi digital saat ini.
 
 
Kebijakan pemerintah di banyak negara, dalam beberapa dekade terakhir juga mulai bergeser mengarah ke konsep negara kesejahteraan (welfare state).  Di negara maju,  kebijakan progresif yang memaksa korporat kapitalis untuk membayar pajak keuntungan hingga 75% telah berjalan. Tujuannya adalah untuk alokasi fiskal demi tujuan promosi sosial seperti anggaran publik untuk kesehatan, pendidikan,  pensiun dan lain lain.  
 
Apa yang terjadi dengan dunia kiri? Negara-negara komunis yang telah berpuasa lama dalam keterasingan pergaulan dunia yang didominir oleh trimatra Washington Concensus: deregulasi, liberalisasi dan privatisasi juga mulai diam-diam terapkan kebijakan adaptif dengan berikan kebebasan kreasi dunia bisnis dengan kadar kontrol negara yang lumayan longgar. 
Setidaknya Rusia dan China bisa jadi gambaran praktek ini. 
 
Para penganut sosialisme ortodok seperti gerakan koperasi yang terapkan sistem demokrasi penuh kuasa satu orang satu suara untuk  konsumen dan pekerja juga terlihat mulai bergeliat mengusulkan skema kepemilikan seluruh pihak, tidak melulu investor tapi juga libatkan kepemilikan perusahaan oleh pekerja dan bahkan konsumenya. Ide ini telah pertemukan kelayakan bisnis dan afeksi sosial dalam konsep koperasi multipihak (multistakeholder cooperative). 
 
Bagaimana Indonesia? 
 
Transformasi besar dunia ini sepertinya akan agak melambat bagi Indonesia. Walaupun muncul gejala-gejala perubahan dengan munculnya kesadaran kecil dari anak-anak muda bahwa keserakahan dan kesenjangan telah merusak dan butuh penyelamatan sosial dan lingkungan. Beberapa anak konglomerat yang mestinya jadi pemain terdepan masih kurang melek terhadap perubahan dunia ini. Mereka sepertinya masih menikmati apa yang jadi “privelege” bagi hidupnya. 
 
Proses transformasi struktural  sepertinya akan tetap sulit terjadi karena rupanya ruang politik kebijakan itu masih terus dikangkangi oleh mereka. Mereka merangsek masuk ke pusat pembuatan peraturan dan kebijakan dengan menjadi wajah yang sublim sebagai pebisnis sekaligus pemain politik. 
 
Mereka bukan hanya plutokrat, tapi juga oligark, berubah jadi varian terjahat plutogarkhi, mereka yang kaya yang membuat aturan dan kebijakan mengeras bersama feodalisme dan birokrasi. Apa yang baik untuk kepentingan mereka, baik untuk kepentingan negara.
 
Keberhasilan mereka memuluskan regulasi bisnis yang potensi merusak lingkungan dan hargai buruh murah melalui Undang-Undang Omnibus Law Ciptakerja adalah satu peristiwa kolosal yang gambarkan situasi yang sangat konservatif itu. Kemampuan paksa mereka terhadap pemerintah dan penegak hukum  untuk tetap berlakukan UU yang sudah bertentangan dengan Konstitusi itu adalah manifestasi paling kongkrit bagaimana mereka itu sungguh sangat ortodok dan feodal. 
 
Sementara itu, kekuatan kontrol masyarakat sipil kita juga dalam titik nadir terlemah. Masih sibuk pada isu bagaimana menyambung hidup untuk membiayai organisasi mereka yang pada masa lalu bergantung pada donor. Kampus-kampus yang diharapkan jadi persemaian kelompok epistemik dan lahirkan  intelektuil organik ternyata turut terseret dalam fragmentasi politik busuk politik diametral. 
 
Jakarta, 6 Desember 2021
 
SUROTO
Ketua AKSES (Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis)
 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *